menyiapkan kejutan

on Senin, 14 September 2009

dalam hitungan hari, aku akan menyaksimu bertumbuh.
bagaimana perasaanmu?
aku tahu pasti, kamu begitu bersemangat menyambut hari itu.

karena aku juga.

tentang sesuatu di wajahmu

on Selasa, 09 Juni 2009

bukan. bukan belekmu.
tiada cela pada apa yang ada di matamu.
percayalah bahwa setiap kali mata kita bersua walau tanpa sengaja,
selalu ada aliran listrik yang mengejut dahsyat di hatiku.
bukan.bukan upilmu.
tiada cela pada apa yang ada di hidungmu.
percayalah bahwa aku bahagia bisa menghirup udara yang sama seperti yang hidungmu hirup.
bukan.bukan jigongmu.
apapun yang lainnya..
hanya sesuatu. sesuatu yang tak terdefinisikan.
membuatmu akan terindukan,
membuatmu akan tetap diingat setelah hari pertemuan,
pada hari pertama, kedua, dan seterusnya sampai mati,
oleh aku.

Bahagia Milik Semua

on Selasa, 26 Mei 2009

Fenomena perceraian di kalangan artis yang berbuntut panjang setidaknya membuka mata dan pikiran saya bahwa pernikahan tidak selalu membawa kebahagiaan. Belum lagi kasus-kasus kekerasan dalam rumah tangga, yang beberapa waktu lalu sering menghiasi pemberitaan di media massa. Pernikahan, yang menurut pandangan lama berkorelasi positif dengan level kebahagiaan, sepertinya harus ditinjau ulang.

Memang ada penelitian yang telah membuktikan pandangan lama tersebut. Pada tahun 1984-1995, Richard E. Lucas, Ph. D dari Universitas Michigan melakukan sebuah investigasi mengenai hubungan status pernikahan dengan kebahagiaan. Dari 12.000 partisipan ( 4000 orang dari Jerman Barat, 5000 orang dari Jerman Timur, dan 3000 orang imigran di Jerman Barat) ,yang diminta untuk memberikan skala kepuasan hidup mereka secara umum dari 0 (tidak bahagia) sampai 10 (sangat bahagia), didapat kesimpulan bahwa ada hubungan yang positif antara pernikahan dan kebahagiaan.

Namun menurut Biro Sensus Amerika Serikat ( dalam Kurniawan, 2007), terjadi trend baru di dalam pernikahan. Semenjak tahun 1970, populasi yang menikah mengalami penurunan yang cukup tajam, yaitu sebanyak 12% dari 68% yang menikah menjadi 56% saja. Survey yang dilakukan di Jepang oleh surat kabar Yomiuri (Kompas, 3 Maret 2005) mengklaim dari sepuluh orang responden, tujuh orang mengatakan bahwa hidup tanpa menikah membuat mereka bahagia. Dengan adanya kedua pandangan yang saling bertentangan ini, maka saya mengangkatnya menjadi topik esai. Apakah orang-orang yang menikah lebih bahagia daripada yang melajang? Adapun hal-hal yang tidak dapat dibahas di dalam esai ini adalah mengenai alasan mengapa para suster yang tinggal di biara-biara tetap bertahan untuk hidup melajang. Oleh karena belum adanya penelitian yang menginvestigasi apakah sebenarnya mereka benar-benar bahagia dalam keadaan tersebut.

Menurut saya, tidak benar bahwa orang-orang yang menikah lebih bahagia daripada yang melajang. Ada alasan-alasan tertentu yang melatari mereka memilih untuk melajang. Sebelum kita menelaah lebih dalam, kita tidak berhak untuk menghakimi bahwa para lajang tidak dapat hidup dengan bahagia.

Suatu studi kasus yang dilakukan di abad ke-18 oleh Christine Adams di Perancis terhadap dua orang wanita, yaitu Marriane dan Marrie, yang memutuskan untuk tidak menikah seumur hidupnya. Meskipun demikian, mereka tidak pernah mempermasalahkannya. Mereka tetap bahagia dengan jalan hidupnya. Christine Adams meneliti sejarah mereka mulai dari keluarganya. Ternyata keluarganya berusaha di sektor ekonomi. Marrie dan Marriane diarahkan untuk menjalankan usaha perekonomian tersebut. Bersama mereka bahu menbahu dalam melakukannya sampai akhirnya berhasil. Kehidupan mereka pun menjadi lebih baik dari segi perekonomian. Konsekuensi yang menyenangkan ini menjadi sebuah dispensasi dari keputusan mereka untuk tidak menikah.

Kemudian ada juga penelitian yang dilakukan oleh Haussher dan Moseley (1932) yang membedah alasan-alasan yang melatarbelakangi seseorang memilih untuk melajang. Partisipan wanita terdiri dari 18 orang guru, 10 orang pengusaha, 17 orang karyawan, 10 orang juru tulis, dan 9 orang pekerja rumahan. Partisipan pria terdiri dari 11 orang profesional, 14 orang pengusaha, 9 orang salesmen, 12 orang juru tulis, dan 9 orang montir. Variabel-variabel kontrol yang dilihat antara lain tingkat pendidikannya dan rentang usia (24-25 tahun).
Partisipan penelitian diminta untuk mengisi kuesioner yang berisi pertanyaan-pertanyaan. Setelah diolah datanya, ternyata baik pria maupun wanita pada tingkat pendidikan tinggi dan rendah terdapat irisan dalam hal alasan yang melatarbelakangi kelajangan mereka, yaitu pengalaman masa lalu membuat mereka sulit untuk kembali berhubungan dengan lawan jenis dan kemudian menikah, pernikahan orang tua yang berakhir dengan perceraian serta tidak mau terburu-buru dalam mencari pasangan hidup karena pernikahan tanpa cinta yang murni tidak akan berhasil. Alasan-alasan lain yang juga muncul antara lain sudah merasa nyaman dengan kesendiriannya, faktor ekonomi, kurangnya populasi lawan jenis di daerah mereka membuat sulit mencari pasangan.

Penelitian terkini menyebutkan pula bahwa kesehatan psikologis para lajang lebih sehat dibandingkan dengan mereka yang menikah (Lianawati,2007). Hal ini dimungkinkan karena kesempatan para lajang untuk mengembangkan potensi yang dimilikinya lebih terbuka lebar. Selain itu mereka juga dapat mengontrol kendapi atas dirinya. Oleh karena itu mereka menjadi percaya diri dan sehat secara psikologis dan sosial.

Penelitian pertama dan kedua cukup representatif untuk menarik kesimpulan bahwa pada saat seseorang memilih untuk menjadi lajang ada alasan-alasan tertentu yang melatarinya. Ketika ia telah memilih jalan hidupnya, maka ia akan menikmatinya tanpa beban. Seperti yang dapat kita lihat pada Marrie dan Marriane yang tidak menikah karena memilih untuk menjalankan usaha keluarganya. Saat ia berhasil, konsekuensi menyenangkan tersebut menjadi dispensasi atas status pernikahan mereka. Kemudian jawaban-jawaban dari partisipan wanita dan pria dari berbagai profesi mengenai alasan mereka untuk tetap sendiri juga mengilhami kekuatan sebuah komitmen pada pilihan hidup. Penelitian ketiga juga menunjukkan bahwa kesehatan psikologis dan sosial orang yang masih sendiri juga lebih baik dari yang menikah. Membuat mereka percaya diri. Dengan demikian kita dapat menjawab bahwa orang-orang yang lajang juga dapat bahagia dengan pilihannya. Pada intinya kebahagiaan tidak menjadi monopoli orang-orang yang menikah. Tidak sedikit dari orang-orang yang menikah juga tidak puas pada pernikahannya dan hidupnya pasca menikah.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa orang-orang yang lajang juga memiliki kesempatan juga untuk bahagia. Bahkan mereka memiliki keunggulan-keunggulan tertentu yang tidak dapat dimiliki oleh orang-orang yang menikah. Mereka memiliki kesehatan psikologis dan sosial yang lebih baik. Kebebasan dalam mengembangkan potensi diri, kesempatan untuk berprestasi sebaik-baiknya lebih dimiliki oleh orang-orang yang lajang. Kemudian alasan-alasan yang dikemukakan dapat menjadi penguat pada saat mereka mulai sedih dengan status pernikahan mereka. Kebahagiaan mereka yang terbesar terletak pada motivasi mereka untuk lajang dan kekonsitensian mereka dalam memegang prinsip tersebut.

Menikah dan melajang sebenarnya adalah suatu pilihan. Ada keuntungan dan kerugian yang mungkin didapat jika memilih salah satu. Tidak ada yang buruk, jika kita memilih untuk tidak menikah. Kebahagiaan dapat diraih dengan berbagai cara. Ada banyak jalan menuju Roma, demikian kata pepatah. Saat kita memutuskan untuk bahagia, maka pada saat itulah kita akan menjadi bahagia. Ketika menikah dan melajang lahir dari free will seseorang, maknanya akan semakin dalam dan terasa.


Referensi :
Adams, Christine. (1996). A Choice not to Wed? Unmarried Women in Eighteenth-Century France. Journal of Social History,29,883-894.
Hausheer, Herman & Jessie O. Moseley.(1932). The Study of the Unmarried. Social Forces, 10, 394-404.
Kurniawan, Irwan. (2007). Pernikahan Sebuah Sistem yang kompleks.
Lianawati, Ester. (2007). Menikah atau Melajang, Sebuah Pilihan.
www.apa.org (02/11/08)
www.kompas.com (03/11/08)

akhirnya ke Ragusa

Beberapa hari belakangan, yang ada di benak saya hanyalah Ragusa. Tak lebih dan tidak kurang. Demi semangkuk es krim italia yang konon katanya enak tersebut, aku memimpikannya berhari-hari. berlebihan? Ah, tidak. Aku benar-benar jatuh cinta pada es krim. Apapun rintangannya, aku akan lalui untuk menunjukkan rasa cintaku pada es krim. Setelah memaksa papa mengantarkan ke Ragusa, mimpiku terwujud sudah. Sebenarnya pengen berangkat sendiri sih, tapi mama takut aku nyasar. Soalnya kemampuan spasial dan mengingatku sungguh kacau. Bisa-bisa gak balik-balik lagi ke rumah karena nyasar di suatu tempat antah berantah.

Sedikit kecewa dengan pelayanannya yang kurang oke, tetapi rasa spaghetti ice cream yang enak membuat kecacatan yang dibuat seorang pelayan lenyap sudah. Akan lebih baik sih kayaknya kalau si mas-mas tersebut belajar asertif pada pelanggannya dan sedikit lebih ramah tamah. Hm, mungkin sikapnya itu adalah efek dari banyaknya pelanggan sementara yang melayani cuma dua. Mas-mas dan bapak-bapak. Yang bapak-bapak ini sangat cekatan lho. Hebat deh, padahal melalui tampilannya, aku menaksir usianya sekitar 65-an ke atas. Aku saja yang masih berusia 20an gak secekatan itu. Heheheh. Lamban bo, dalam bertindak. Tapi aku gak mau kalah dari si bapak-bapak itu. Semangatnya dalam bekerja pantas ditiru!

Lain waktu aku harus ke sana lagi. Harus.

senang bersamamu

on Kamis, 21 Mei 2009

setiap hari yang kita jalani bersama,
kadang-kadang diiringi hujan lebat,
petir yang menyambar-nyambar,
deraan tugas kuliah yang menggila..

setiap hari yang kita jalani bersama,
kadang-kadang diliputi perasaan sedih,
ah,tapi masih ada tawa juga sebagai jeda..

setiap hari , kita ada untuk masing-masing..
dan terus terang saja,
aku senang bersamamu.

bukan sapi biasa

on Rabu, 20 Mei 2009

bukan sapi biasa karena :

  • sapi yang ini bisa menulis
  • sapi yang ini bisa mengungkapkan ide dalam kata-kata
  • sapi yang ini bisa main futsal
  • sapi yang ini bisa main gitar
  • sapi yang ini dodol seperti sapi pada umumnya
  • sapi ini hype,gaya, dan trendy..
  • sapi ini unik dan tak dapat diperbandingkan
  • sapi ini punya blog.. (akhirnya)

yah, mari bersenang-senang bersama.. :)